Warisan Terbaik Mama

Warisan Terbaik Mama

Ada hari-hari tertentu ketika kerinduan datang tanpa permisi. Seperti semalam, aku berbaring di ruang tengah beralas selimut menatap beberapa foto mama yang tersimpan di ponselku. Senyum itu masih sama seperti dulu, hangat dan menenangkan. Tapi kali ini berbeda, karena aku tahu, tak akan pernah lagi senyum itu kulihat secara langsung. Mama udah pergi, lepas dari semua perihnya, tenang meninggalkan dunia namun menyisakan ruang kosong di hatiku yang tak pernah bisa benar-benar terisi.

Rindu pada mama ini benar-benar sulit kugambarkan. Rindu itu menyusup pelan, lalu menekan begitu kuat sampai dada terasa sesak. Aku rindu mendengar nasihatnya, rindu aroma masakannya, rindu telapak tangan kasarnya yang selalu kucium saat bertemu dan rindu pelukan yang selalu bisa membuat dunia terasa lebih ringan. Tetapi lebih dari itu, aku rindu kehadirannya yang sederhana, di mana aku bisa duduk di dekat beliau, sambil bercerita dan berkeluh kesah.

Meski rindu serasa membelah dada dan tangis pun masih tersisa, di sudut hati yang paling dalam aku bahagia sebab mama masih hidup dalam diriku. Di sel tubuhku ada sumber energi kehidupan, mitokondria, yang mama wariskan padaku sejak dalam rahimnya. Ini akan selalu menjadi pengingat bahwa meski mama sudah nggak bisa kupeluk, bagian dirinya tetap hidup bersamaku.

Aku diam, lama dan menatap tanganku sendiri, kemudian meletakkannya di dada, mencoba merasakan detak jantung yang terus bekerja. Lalu aku tersenyum pahit. Meskipun raga mama nggak di sini lagi, beliau tidak pernah benar-benar pergi. Bagian dari dirinya masih hidup di dalam diriku. Setiap energi yang mengalir dalam tubuhku, setiap langkah yang kuambil, ada jejak beliau di sana.

Sedih sekaligus menenangkan. Karena nyatanya, aku tak hanya mewarisi wajah atau kebiasaan mama, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih besar dan bermakna, energi kehidupan. Mitokondria ini adalah bukti paling nyata, bahwa mama tetap bersamaku. Bahwa mama akan selalu ada, bahkan ketika aku merasa paling sendirian sekalipun.

Kadang aku merasa iri pada orang lain yang masih bisa bercerita dengan ibunya, atau sekadar menelpon untuk menanyakan kabar. Aku tidak bisa lagi melakukan itu. Tapi aku mencoba menghibur diri, setiap kali aku menarik napas, setiap kali aku berjalan, setiap kali tubuhku bekerja tanpa kusadari, itu adalah bukti bahwa mama masih ada di sini, bersamaku. Ia mungkin sudah berpulang secara jasmani, tapi jejak dirinya masih mengalir dalam hidupku.

Walau menyakitkan, rindu ini juga mengajariku sesuatu. Bahwa seorang ibu tidak hanya meninggalkan kenangan setelah kepergiannya, tapi juga meninggalkan kehidupan itu sendiri. Ia menyalakan api kecil di dalam setiap sel anak-anaknya, api yang terus menyala meski pemiliknya sudah tiada.

Semalam, aku kembali menangis dalam diam. Merasa kehilangan, iya sangat. Ada luka yang tak pernah sembuh, iya sudah pasti. Tapi ada juga rasa syukur. Syukur karena pernah memiliki mama yang begitu hebat, yang tidak hanya mencintai dengan sepenuh hati, tapi juga meninggalkan bagian dirinya untuk terus hidup bersamaku.

Aku berbisik pelan, “Ma, aku merindukanmu.”

Kerinduan ini mungkin tak akan pernah hilang. Tapi aku akan selalu mengingat bahwa di balik setiap rasa lelah, di balik setiap kekuatan yang kupunya, ada energi mama yang terus bekerja di dalam tubuhku. Mitokondria adalah pengingat abadi, bahwa cinta seorang ibu melampaui kematian, melampaui waktu, dan akan terus hidup dalam diri anak-anaknya.

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *